Friday, October 31, 2008

Emergency Call

Mula-mula ada 2 panggilan masuk ke hp nggak bisa kita terima, tapi ternyata temanku ini salah mencet nomor. Panggilan berikutnya dari orang setauku sih jarang banget mau telepon. Begitu kita angkat, langsung deh keadaannya jadi gawat bener. Ada kliennya trying to commit suicide tapi dianya pas di luar kota. Jadinya dia minta tolong kita ke rumah sakit mendampingi kliennya.

Nah, kalo udah gini repot. Bukannya kita nggak mau tolong, tapi misua belon pulang kerja kita absolutely nggak mau ajak Jessie nungguin orang dengan kasus begini. Kan nggak tau kayak apa, kalo nggak kebeneran bisa trauma dia. Akhirnya karena situasinya gawat, kita telepon misua supaya pulang kantor lebih cepet.

Begitu dia dating, kita langsung siapkan m malam kedua orang kita cintai ini. Sudah oke baru deh kita berangkat ke rumkit.

Terus terang, di jalan kita agak ragu. Bisa nggak ya, soalnya kalo sampe harus terapi, perlu ketrampilan khusus. Sampe di sana, kliennya temanku udah disonde buat ngeluarin racunnya. Kita tungguin sampe selesai, tapi nggak boleh pulang sama dokternya. Jadi harus mondok. Begitu pasti dia masuk kamar, kita cabut deh.

Wah, kalo ada emergency call begini bikin kita deg-degan. Kita sering lupa nyiapin keluarga, kalo sewaktu-kala kita bisa dapet emergency call kayak gini. Dulu pernah ada mahasiswkita meninggal dunia, tapi kita nggak bisa bikin apa-apa karena berlangsung di luar kota. Emang bener deh kalo profesi paling tinggi stressornya itu nomor satu pendeta, nomor dua psikolog!

Thursday, October 30, 2008

Nangis Dua Kali

Kemaren malam, akhirnya jadi juda nonton Laskar Pelangi. Perjuangan untuk nonton ini seminggu lebih karena menyesuaikan dengan jadwal sahabat keluarga cukup padat.

Film ini bagus di dalam kesederhanaannya. Sebenernya kita tertarik kepada bukunya setelah kawanku berulang kali ngomong kalo cara penulisan Andrea Hirata itu lain dari lain. Halaman-halaman awal kita sempat bosan nggak bisa terima dengan istilah-istilah dari keyakinan lain. Tapi, begitu mata hatiku terbuka misi pendidikan di dalamnya, lanjuuut sampai halaman terakhir.

Film emang nggak pernah sebagus bukunya, hanya film ini sekuelnya terputus-putus. Nggak ada alur kontinu. Ketolong aja dengan konten berbobot.

Pikiran nih film nggak deh nguras air mata seperti film Denias, eh… kala suasana film mulai muram, kala tokoh sekolah itu meninggal di atas meja kerjanya kala guru satu-satunya di sana tak berdaya mengajar lagi, perlahan namun pasti airmata menitik juga. Lebih-lebih kala Lintang terpaksa berhenti sekolah karena ayahnya meninggal, sementara di rumah ia hanya sendiri dengan ketiga adiknya masih kecil, waa…nangis bombay deh.

Kala keluar bioskop kita dengar ada penonton bilang begini sama temennya, “Wah, kita jadi semangat lagi, kita mau kuliah lagi ah!” Nah begini baru namanya sadar, tinggal ngelakoni aja tekadnya itu.

Pertanyaan kritis sempat kita misua bahas adalah ke mana sekolah Muhammadiyah lain?

Tuesday, October 28, 2008

Pilihan

(ngga tau sumbernya, dapet dari imel. klo ada yg tau sumbernya, kasi tau yah...)


Dear para ibu dan calon ibu

Sebuah renungan…, Semoga bermanfaat.

Salam

Saya seorang ibu dengan 2 orang anak , mantan direktur sebuah Perusahaan multinasional. Mungkin anda termasuk orang yang menganggap saya orang yang berhasil dalam karir namun sungguh jika seandainya saya boleh memilih maka saya akan berkata kalau lebih baik saya tidak seperti sekarang dan menganggap apa yang saya raih sungguh sia-sia.

Semuanya berawal ketika putri saya satu-satunya yang berusia 19 tahun baru saja meninggal karena overdosis narkotika.
Sungguh hidup saya hancur berantakan karenanya, suami saya saat ini masih terbaring di rumah sakit karena terkena stroke dan mengalami kelumpuhan karena memikirkan musibah ini.

Putera saya satu-satunya juga sempat mengalami depresi berat dan sekarang masih dalam perawatan intensif sebuah klinik kejiwaan, dia juga merasa sangat terpukul dengan kepergian adiknya. Sungguh apa lagi yang bisa saya harapkan.

Kepergian Maya dikarenakan dia begitu guncang dengan kepergian Bik Inah pembantu kami. Hingga dia terjerumus dalam pemakaian Narkoba.

Mungkin terdengar aneh kepergian seorang pembantu bisa membawa dampak begitu hebat pada putri kami.

Harus saya akui bahwa bik Inah sudah seperti keluarga bagi kami, dia telah ikut bersama kami sejak 20 tahun yang lalu dan ketika Doni berumur 2 tahun. Bahkan bagi Maya dan Doni, bik Inah sudah seperti ibu kandungnya sendiri. Ini semua saya ketahui dari buku harian Maya yang saya baca setelah dia meninggal. Maya begitu cemas dengan sakitnya bik Inah, berlembar-lembar buku hariannya berisi hal ini. Dan ketika saya sakit (saya pernah sakit karena kelelahan dan diopname di
rumah sakit selama 3 minggu) Maya hanya menulis singkat sebuah kalimat di buku hariannya "Hari ini Mama
sakit di Rumah sakit" , hanya itu saja. Sungguh hal ini menjadikan saya semakin terpukul.

Tapi saya akui ini semua karena kesalahan saya. Begitu sedikitnya waktu saya untuk Doni, Maya dan Suami saya. Waktu saya habis di kantor, otak saya lebih banyak berpikir tentang keadaan perusahaan dari pada keadaan mereka. Berangkat jam 07:00 dan pulang di rumah 12 jam kemudian, bahkan mungkin lebih. Ketika sudah sampai rumah rasanya sudah begitu capai untuk memikirkan
urusan mereka. Memang setiap hari libur kami gunakan untuk acara keluarga, namun sepertinya itu hanya seremonial dan rutinitas saja, ketika hari Senin tiba saya dan suami sudah seperti "robot" yang terprogram untuk urusan kantor.

Sebenarnya ibu saya sudah berkali-kali mengingatkan saya untuk berhenti bekerja sejak Doni masuk SMA namun selalu saya tolak, saya anggap ibu terlalu kuno cara berpikirnya. Memang Ibu saya memutuskan berhenti bekerja dan memilih membesarkan kami 6
orang anaknya. Padahal sebagai seorang sarjana ekonomi karir ibu waktu itu katanya sangat baik. Dan ayahpun ketika itu juga biasa-biasa saja dari segi karir dan penghasilan. Meski jujur saya pernah berpikir untuk memutuskan berhenti bekerja dan mau
mengurus Doni dan Maya, namun selalu saja perasaan bagaimana kebutuhan hidup bisa terpenuhi kalau berhenti bekerja, dan lalu apa gunanya saya sekolah tinggi-tinggi? Meski sebenarnya suami saya juga seorang yang cukup mapan dalam karirnya dan penghasilan.

Dan biasanya setelah ada nasehat ibu saya menjadi lebih perhatian pada Doni dan Maya namun tidak lebih dari dua minggu semuanya kembali seperti asal urusan kantor dan karir fokus saya. Dan kembali saya menganggap saya masih bisa membagi waktu untuk mereka, toh teman yang lain di kantor juga bisa dan ungkapan "kualitas pertemuan dengan anak lebih penting dari kuantitas" selalu menjadi patokan saya.

Sampai akhirnya semua terjadi dan diluar kendali saya dan berjalan begitu cepat sebelum saya sempat tersadar. Maya berubah dari anak yang begitu manis menjadi pemakai Narkoba. Dan saya tidak mengetahuinya! !! Sebuah sindiran dan protes Maya saat ini selalu terngiang di telinga.

Waktu itu bik Inah pernah memohon untuk berhenti bekerja dan memutuskan kembali ke desa untuk membesarkan Bagas, putera satu-satunya, setelah dia ditinggal mati suaminya .. Namun karena Maya dan Doni keberatan maka akhirnya kami putuskan agar Bagas dibawa tinggal bersama kami. Pengorbanan bik Inah buat Bagas ini sangat dibanggakan Maya. Namun sindiran Maya tidak begitu saya perhatikan. Akhirnya semua terjadi, setelah tiba-tiba jatuh sakit kurang lebih dua minggu, bik Inah meninggal
dunia di Rumah Sakit.

Dari buku harian Maya saya juga baru tahu kenapa Doni malah pergi dari rumah ketika bik Inah di Rumah Sakit.
Memang Doni pernah memohon pada ayahnya agar bik Inah dibawa ke Singapore untuk berobat setelah dokter di sini mengatakan bahwa bik Inah sudah masuk stadium 4 kankernya.
Dan usul Doni kami tolak hingga dia begitu marah pada kami. Dari sini saya kini tahu betapa berartinya bik Inah buat mereka, sudah seperti ibu kandungnya! Menggantikan tempat saya yang seolah hanya bertugas melahirkan mereka saja ke dunia.

Tragis !

Dan sebuah foto "keluarga" di dinding kamar Maya sering saya amati kalau lagi kangen dengannya. Beberapa bulan yang lalu kami sekeluarga ke desa bik Inah. Atas desakan Maya kami sekeluarga menghadiri acara pengangkatan Bagas sebagai kepala sekolah madrasah setelah dia selesai kuliah dan belajar di pesantren. Dan Doni pun begitu bersemangat untuk hadir di acara itu padahal dia paling susah untuk diajak ke acara serupa di kantor saya atau ayahnya.

Dan difoto "keluarga" itu tampak bik Inah, Bagas, Doni dan Maya tersenyum bersama. Tak pernah kami lihat Maya begitu senang seperti saat itu dan seingat saya itulah foto terakhirnya. Setelah bik Inah meninggal Maya begitu terguncang dan shock, kami sempat merisaukannya dan membawanya ke psikolog ternama di Jakarta.

Namun sebatas itu yang kami lakukan setelah itu saya kembali berkutat dengan urusan kantor.

Dan di halaman buku harian Maya penyesalan dan air mata tercurah.

Maya menulis :
"Ya Tuhan kenapa bik Inah meninggalkan Maya, terus siapa yang bangunin
Maya, siapa yang nyiapin sarapan Maya, siapa yang nyambut Maya kalau
pulang sekolah, Siapa yang ngingetin Maya buat berdoa, siapa yang Maya
cerita kalau lagi kesel di
sekolah, siapa yang nemenin Maya kalo nggak bisa tidur....... ...Ya Tuhan ,
Maya kangen banget sama bik Inah" bukankah itu seharusnya tugas saya
sebagai ibunya, bukan bik Inah ?

Sungguh hancur hati saya membaca itu semua, namun semuanya sudah terlambat tidak mungkin bisa kembali, seandainya semua bisa berputar kebelakang saya rela berkorban apa saja untuk itu. Kadang saya merenung sepertinya ini hanya cerita sinetron di TV dan saya pemeran utamanya. Namun saya tersadar ini real dan kenyataan yang terjadi.

Sungguh saya menulis ini bukan berniat untuk menggurui siapapun tapi sekedar pengurang sesal saya semoga ada yang bisa mengambil pelajaran darinya. Biarkan saya yang merasakan musibah ini karena sungguh tiada terbayang beratnya.

Semoga siapapun yang membaca tulisan ini bisa menentukan "prioritas hidup dan tidak salah dalam memilihnya". Biarkan saya seorang yang mengalaminya.

Saat ini saya sedang mengikuti program konseling/therapy untuk menentramkan hati saya.
Berkat dorongan seorang teman saya beranikan tulis ini semua.

Saya tidak ingin tulisan ini sebagai tempat penebus kesalahan saya, karena itu tidak mungkin! Dan bukan pula untuk memaksa anda mempercayainya, tapi inilah faktanya.

Hanya semoga ada yang memetik manfaatnya.

Dan saya berjanji untuk mengabdikan sisa umur saya untuk suami dan Doni.

Dan semoga Tuhan mengampuni saya yang telah menyia-nyiakan amanahNya pada saya.

Dan disetiap berdoa saya selalu memohon "YA Tuhan seandainya Engkau akan menghukum Maya karena kesalahannya, sungguh tangguhkanlah Ya Tuhan, biar saya yang menggantikan tempatnya kelak, biarkan buah hatiku tentram di sisiMu".

Semoga Tuhan mengabulkan doa saya.

-----------------------------------------------------------------------

Gue...
Gue FTM. Full time mom.
Gue jadi FTM lebih karena keadaan.
Hamil, mabok, sementara suami udah di luar kota. Maka daripada pusing ditengah jalan sambil nyetir motor trus kenapa-kenapa, mendingan gue out sekalian.

Waktu Darris udah lahir, gue tetep gak bisa balik kerja. Ibu gue bukan tipe yang bisa dititipin anak sementara gue kerja dengan tenang. Beliau, walau FTM, di rumah udah sibuk sendiri (ada asisten maupun ngga, sibuknya tetep sama :D). Maka gue seperti terjebak.

Gue bukan orang rumahan seperti ibu.
Gue suka ketemu orang baru. Gue gak suka suasana monoton.
Dan gue, yang modelnya begini, kudu stay di rumah (rumah ortu waktu itu).

Bisa ditebak, gue rada depressed.
Di rumah ortu (yang gue sering clash sejak gue bisa nalar), 24/7 (gue cuman keluar sebentar-sebentar ke minimarket, ke bank, kalo ibu belon nelpon gue mampir ke rumah temen yang jauhnya cuman beda gang dan masi satu RT), suami pulang dua minggu sekali (well, itu rata-rata, rekornya lima minggu), my mental is not quite healthy.

My life's plan goes to plan B.
Punya beberapa anak sebelum usia 35, trus balik ke 'dunia'. Balik jadi diri sendiri. Bukan si mama, bukan Ny. Suami.
Somehow, plan B cocok ama The Great Plan. Sebelum umur 31, insya Allah anak bakal udah 3. So maybe, just maybe, plan B might work.

Jadi gue sekarang tapa dulu di rumah. Ngurus dua (so far) pemberontak separatis ekstrim ini, hingga waktu berlalu dan mereka bisa mandiri jadi bisa gue tinggal. That's it. Just be patient.

Masalahnya gue bukan orang yang sabar.
Gue hobi liat kiri-kanan, dan suka iri sama perempuan lain yang walo anaknya dua, tiga, tetep bisa kerja. Meniti karir. Jadi 'seseorang'. Accountants, legal officers, jounalists, web designers, editors, managers, branch managers, region managers, just name it. Everything but just a mom. Because they still a mom. Being a mom, AND those other labels. While me, I'm just a mom...
Mereka bisa punya duit sendiri. Dari kerja kerasnya sendiri. Pengen apa-apa ngga sungkan karena harus pake uang dari suami, yang biasanya berjudul 'uang belanja kebutuhan bulanan keluarga'.

Di sisi lain, gue ngga tega ninggalin anak di rumah diurus pembantu doang kalo ngga ada keluarga sepuh yang ikut ngawasin.
Gue ngga bisa. Di jaman begini, gue ga punya nyali menyerahkan anak pada orang asing yang gue sama sekali gak kenal, dan dengan tenang pergi ke kantor mikirin urusan kantor.

So here I am, a bit twisted. Sometimes losing myself.
Dan cerita-cerita seperti diataslah yang bisa membangkitkan semangat gue (walo mungkin cuma sementara).

So...
What's the moral story?

Buat FTM: bersyukurlah dengan keadaan anda (gue ngomong sambil ngaca neh :D).
Anda bisa melototin anak anda setiap waktu (dan direpotin, diresein, ditantrumin, dijengkelin, kadang dibikin mau minggat aja). Memantau perkembangannya, andalah yang tahu lebih dulu kepinterannya yang baru (dan kenakalannya). Anda jugalah yang kelak akan bangga saat orang memuji anak anda "hebat ya, ya begitu kalo anak selalu diawasi/deket sama ibunya". Tapi hati-hati, anda juga yang akan kena bila "padahal ibunya gak kerja lho, kok anaknya bisa sampe gitu sih??". There's always two sides of a coin.

Buat working mom: pastikan asisten anda ganti tiap periode sekali, supaya ngga terlalu bonding dengan anak anda :D.
Kelak anda juga akan bangga bila ada yang memuji anak anda "hebat ya, padahal ibunya kerja lho..kok masi bisa ngedidik anak jadi pinter gitu ya". Tapi bisa juga "gitu dehhh klo ibunya kerja, anaknya kurang perhatian, jadi begitu...". There's always two sides of a coin.

Sunday, October 26, 2008

Jogja Java Carnival

Udah lama kepengen nonton acara-acara di Jogja Java Carnival, baru kemaren malam keturutan.

Mula-mula sih kita cuman liat pemberitahuan di Kompas, jika malam ada pertunjukan seni di museum Ullen Sentalu, Kaliurang. Setelah misua setuju, baru deh kita ngerancang pergi ke sana.

Nggak nyangka, acara ini banyak sekali pengunjungnya. Kali sama dengan kita salah satu alasan ke sananya adalah karena acara ini gratis, ha…ha…ha… . Soalnya jalanan ke Kaliurang sepiii…., gelaaap… sunyi! Semalem jadi raja jalanan, soalnya nggak ada kendaraan laen. Mulai tau kalo acara ini banyak peminatnya adalah karena di gerbang masuk Kaliurang ada penjaganya. Mungkin sore juga udah tutup.

Pertunjukan seni itu jenisnya tarian. Tapi bikin Jessie demen itu musik perkusinya. Emang sih kita nggak ngerti banyak, soalnya perkusi sesuatu baru dalam ranah jiwa keluarga kami. Hanya saja, semangat group itu bermain, keindahan perpaduan bunyi drum, tifa, bonang gamelan, xylophone kayu, gong tetabuhan lainnya bikin ba mau go rasanya! Lebih-lebih kala tiba-tiba dari perpaduan itu terdengar lagu Cingcangkeling, nggak lama kemudian Sinanggar Tulo! Wah, asyik banget deh.

Tarian dari Jepang juga lucu amat komunikatif. Tari ini memadukan balet kebiasaan hidup di Jepang. Group dari Malaysia membaw musik gurindam. Jujur aja, ini paling nggak bisa dingertiin, dicoba aja dinikmati. Berhubung udah pk 22.30, kita cabut deh dari Kaliurang.

Secara umum semua performance bagus. kurang bagus itu MC nya. Nggak kreatif sama sekali. Sepanjang acara cuman ngomong tari ini dari mana, grup musik ini dari mana, penyelenggaranya siapa. Kan harusnya MC itu membawa penonton mengerti keunikan masing-masing performer. Di banyak acara international, bagian MC ini sering disepelekan kehadirannya. Dianggepnya udah dikasih tau susunan acaranya, bisa jalan sendiri. Kalo pas dipegang oleh orang kreatif, bisa bagus. Tapi kalo orangnya nggak bisa ngembangin, jadinya tawar.

Pulangnya kita nyetir sambil ngantuk-ngantuk. Minta misua nyariin circle K. Dari Kaliurang, baru ketemu di km 7. Itu sih udah deket rumah deh. Pelan-pelan akhirnya kita nyampe deh.

Tuesday, October 21, 2008

Ampir Kena Straap

Entah kenapa anakku ini senang sekali ikut lomba. Sekecil apa pun pengumuman ato brosur, teteup keliatan. Beberapa hari lalu kita anter mertua ke Centro, eh…dia liat kalo ada lomba mendandani boneka. Padahal tuh pengumuman adanya di brosur hanya diletakkan di customer service, lumayan mojok letaknya.

Dua hari berikutnya dia sibuk merancang mau dihias seperti apa bonekanya, ngajakin sohibnya supaya ikut juga.

dulu kita kami ke gramed. Dia baca lagi pengumuman lomba gambar peta. Udah dinasehatin sama papinya supaya mikir baik-baik, dengan media apa dia paling senang berekspresi: gambar apa dandan. Nggak di dengerin deh papinya, malah ngerayu kita sepanjang jalan pulang supaya mau anterin dia lomba dua-duanya. Nah lho!

Kita nggak mau seharian nungguin dia lomba, buset, musti bawa berapa buku? Kalo bawa notbuk nanti dikira sombong, lagian tempatnya kan belon ketauan kayak apa. Terus tempatnya berjauhan. Satu di UGM Jl Grafika, tempat kita dulu her registrasi pas mahasiswa. Nggak tau sekarang kayak apa tempatnya. Satu lagi di Amplaz. Akhirnya dengan berat hati kita suruh Jessie milih salah satu. Kali ini kita bener-bener harus ngajarin dia milih, jangan semua-semua mau diikutin. Hari libur kan bukan buat lomba???

Hampir kena setrap, nungguin anak lomba! Akhirnya dia milih menggambar deh, dandannya ditinggalin. “Soalnya kita kan mau jadi arsitek, kayak Oom Didi, Mam!”

Thursday, October 16, 2008

Ancur-ancuran

Gara-gara iseng nih, makanya blogku ancur deh. Pulang dari Jakarta kemaren, kita baca buku bikin blog jadi cantik. Terus, seperti biasa, kita tertantang. Lalu, bacalah kita buku itu satu harian.


Di buku itu langkah-langkahnya jelas, jadi kita coba lakukan. Tapi alamak! Ternyata nggak komplit langkahnya. Begitu percobaan 1 gagal, kita mau kembaliin ke blog semula. Isinya sih teteup ada, tapi…..widgetnya ilang semua, termasuk shoutboxku! Hiks…hiks…., padahal komen-komen di situ tuh precious banget buat aku.


Untunglah kita nemu blog ngajarin secara komplit cara bikin shoutbox seribu macem pernik blogspot. Hari-hari ini kita masih mencoba untuk repairing my blog. Jadi, buat mampir, sabar ya. Rumahnya lagi amburadul, ha…ha…ha…


Ketik C spasi p….cape deee….

PS: makanya kalo bikin buku musti ati-ati neh, kalo begini apa penulisnya mau tanggung jawab????

Sunday, October 12, 2008

Libur Panjang (1)

Setelah begadang siang malem, akhirnya hasil kerjkita keluar. Lumayan, bisa buat liburan ke Jakarta. Memang tujuan utama ke Jakarta untuk nengokin kepon baru lahir. Kan musim lebaran tuh, pembantu juga pada mudik. Jadi, begitu dateng di stasiun langsung meluncur ke Cibubur.

Tiga hari kita di rumah ade bontotku. Wah, jadi inget lagi masa-masa Jessie baru lahir. Cuman ini agak lebih repot karena dia minum ASI. Kan maminya nggak tau, tuh anak udah ken apa belon. Kalo nyusu bisa sejam, karena sepuluh menit nyusu, terus tidur. Begitu terus. Nggak heran kalo maminya kecapekan.

Kalo udah kira-kira ken dia tidur. Lagi enak-enaknya tidur, terbangun gara-gara pipis. Gendong lagi. Bayi emang gitu, taunya digendong, nyusu, bobo, pis, pup terus kadang-kadang put. Pernah dia put, bauuuu…. Sekali. Abis itu pup deh, ha…ha…ha…, ada juga orang gede kebauan ama put nya bayi belon sebulan. Pusing bo, baunya.

Hari ahir kita di Cibubur baru deh sampe pegel gendong si Irene. Begitu kira-kira pules, kita taro aja di ayunan, sambil digoyang-go en baca buku. Bapaknya bingung liat anaknya tidur di ayunan. Maksudku buat contoh, kalo besok-besok Irene rewel, taro aja di ayunan terus digoyang-goyang, ha…ha…ha…

Abis dari Cibubur kita dijemput sama adeku paling gede, meluncur ke Tangerang. Walaupun jaraknya juauuuh, saking jauhnya, anak-anak nggak rewel karena mereka nonton film rame-rame.

Malemnya ke Grand Indonesia, nonton Mama Mia. Biar kata amen udah pada keriput-keriput, gaek-gaek, tapi film itu bagus banget. Dasarnya juga kita nge-fans sama ABBA. Nah, tiap siang ditemenin lagu gituan, kan belajarnya sambil dengerin Sonora kala di Jakarta dulu. Puas banget nonton ini, kalo di Yogya maen, kita mau nonton lagi ah, secara misa kan nggak ikut libur…, jadi ada alasan signifikan buat nonton lagi.

Sebelon nonton ada kisah lucu. Kita kan naek escalator dua lantai menuju food court. Nah, kita agak ketinggalan di belakang, soalnya nungguin adeku balik ambil kamera. Di tangga itu ada tiga ibu-ibu berjilbab kebingungan. Nggak taunya, longdressnya melambai-lambai kesangkutdi tangga. Otomatis tangganya berhenti, tapi dianya juga nggak bisa bergerak. Begitu ngeliat kita dating, mereka minta tolong. Terpaksa deh kita tarik, mana bisa diutak-atik algi kalo udah gitu? Akhirnya dengan sekuat tenaga kita narik tuh rok. Begitu lepas, baru keliatan kalo mereka bukan orang Indonesia. Garis wajahnya sih kayak orang Libanonan.

Abis nonton papanya iparku bilang, “Padahal harga roknya bisa jutaan tuh.” Wah, itu sih di luar dugaan. Kalo roknya emang jutaan harganya, biar belajar dari kejadian ini supaya berhati-hati kalo naek escalator, ups!

Search This Blog