Monday, December 12, 2011

Cerita Kehilangan

Sabtu sore kita mendapat telpon dari temannya Mama. Ini gak biasanya, karena tentu lah ada berita penting sehingga dia menelpon anak temannya. Berita dibawa pun membuatku terkejut.

Pak Mubijanto, akrab kami panggil dengan Pak Bi, meninggal dunia. Begitu mendadak, sampai kami semua kaget. Meninggalnya pun mengenaskan. Dia ditemui seorang penduduk tergeletak dengan kepala terluka di pinggir jalan di Jombang. Penduduk ini melapor ke polisi, lalu polisi membawanya ke RS Bhayangkara Kediri. Dalam perjalanan ke rumkit itu dia meninggal. Begitu sampai di Bhayangkara, anaknya menjadi perawat di sana, lalu mengenali bahwa korban tabrak lari itu adalah bapaknya sendiri. Rupanya Pak Bi sedang in reiyen motor barunya. Mungkin subuh-subuh setelah sholat, dia pergi ke Papar. Tabrak lari itu pun terjadilah. Pagi ini kita di sms keluarganya mengabarkan kepulangan Pak Bi. Kita sempat bingung karena mereka menyebut nama meninggal itu Pak Mubijanto. Kita pikir ayahnya salah satu temanku kuliah. Setelah beberapa saat, barulah kita ingat nama lengkapnya Pak Bi...

Pak Bi ini sopir panggilan di Kediri banyak digemari oleh ibu-ibu dokter, karena gaya menyetir tidak grusa-grusu steady. Kala Jessie umur 4 bulan, Pak Bi menjemput kami bertiga ke Yogya. Ini perjalanan jauh Jessie pertama. Dengan gaya setirannya, Jessie gak mabok samsek. Setelah itu, setiap kali kami ingin ke Kediri, Pak Bi jemput. Juga saat kami sudah bisa naik kereta Sancaka turun di Madiun, Pak Bi jemput kami. Ada satu lagi kehebatan Pak Bi, dia bisa membawa mobil Papa dengan nyaman di jalan Kediri - Batu. Jalanan itu terkenal berkelok-kelok mungkin sulit memainkan gas kopling tidak membuat penumpangnya muntah. Nah, Pak Bi itu jagonya. Jessie aja gak muntah malah tidur dengan nyaman sampai ke Kediri.

Kala Papa membelikan si Mumun, Pak Bi juga mengantar si Mumun dari Jakarta sampai ke Yogya dengan selamat. Kala itu Pak Bi mengajari kita supaya jika parkir si Mumun di garasi gak usah masuk gigi satu, karena dia tahu kita baru lepas dari mobil matic. Sayang, kala itu peringatannya kita langgar karena kita yakin pasti selalu memasukkan gigi netral sebelum manasin mobil. Sampailah suatu ketika kita lupa, dan...jedur! Si Mumun nyium tembok kamar pembantu sampai hidungnya pesek itu mblesek sek...

Perjumpaan ahir kami terjadi dua tahun silam, saat Papa pindah dari Kediri ke Purwakarta. Kala itu kita bawa si Mumun ke Kediri. Pulangnya Pak Bi stir. Kirain gak ketemu lagi, eee...tahu-tahu Pak Bi datang mengantar Papa dari Kediri ke Purwakarta singgah di Yogya. Beberapa kali kami sempat terpikir meminta pertolongannya mengantar kami Yogya- Purwakarta, tapi niat kami tak pernah kesampaian karena selalu bertemu Pa Ma di Jakarta.

Selamat jalan Pak Bi, kebaikanmu tak kami lupakan....

Monday, November 7, 2011

Thanks to Tech

Akhir-akhir ini internet di tempatku luar biasa lemot. Jarang-jarang kita bisa download dengan tenang. Bisa tiba-tiba down, lau semua kita download berhenti di tengah jalan. Akibatnya kita harus mengulang lagi dari awal.

Kalo soal download masih bisa lah ditunda, tapi jika email penting or pertemuan penting, rasanya kondisi internet kayak gitu bikin frustrasi.

Satu hal akusyukuri adalah kita dibekali dengan handheld canggih. Halangan begitu hampir bisa diatasi semua. pertama kali membuatku bersyukur adalah kala kita harus meneliti hasil pemeriksaa psikologis saat itu juga, padahal internet down. Dengan handheld ini, tugasku itu terlaksana dengan baik.

Begitu juga kala di kampus, kami diminta mencari seuah istilah penting, dengan adanya handheld ini tugas itu tak perlu tertunda-tunda.

Ajaibnya lagi, kala kita berinisiatif mencarikan tempat syawalan angkatanku. Kan hanya kita ada di lokasi saat itu, jadi dengan handheld ini kita cepret sana cepret sini, alngsung kirim ke grup. Saat itu juga kami sepakat menyewa or tidak tempat kita kunjungi. Tanpa handheld seperti ini agak mustahil melakukan banyak pekerjaan dengan kala sesingkat-singkatnya.

Itu soal perangkat keras. Dalam hal software, kita banyak tertolong dengan yahoo messenger. Dengan meletusnya Merapi, komunikasi menjadi sulit. Komunikasi tatap muka, maksudku. Tugasku itu menghubungkan berbagai macam orang di Jakarta, Semarang, Salatiga Yogya. Tanpa bantuan ym, sulit semua itu terlaksana.

Zaman teknologi begini, kemungkinan tatap muka di dunia nyata bisa dikurangi dengan amat banyak, walaupun itu juga diperlukan. Tapi dalam keadaan darurat, bantuan teknologi sangat terasa signifikansinya.

Friday, September 9, 2011

Cerita Kisah Sebuah Lampion

Ketika kita lewat di daerah sekitar Giwangan, banyak lapak menjual lampion tradisional. Lampion itu bermacam-macam bentuknya. Rangkanya terbuat dari bilah-bilah bambu. Tangkainya terbuat dari batang bambu ujungnya dibuat berlubang untuk tempat lilin.

Jessie senang sekali kita belikan lampion itu. Kita memilih bentuk bintang, karena itu paling netral. lain berbentuk bulan sabit, mesjid, kubah mesjid bentuk-bentuk keagamaan lainnya. Memang sejatinya lampion itu dipakai dalam arak-ar malam takbiran. Hanya, kita suka bentuknya dengan membeli ini, kita mulai mengajarkan anakku menghargai keberbedaan.

Lampion itu masih ada sampai sekarang, dua tahun setelah kita membelikannya. Setiap dia lihat lampion itu, dia teringat jalan-jalan malam sekeliling Jl. K. H. Ahmad Dahlan melihat orang berbaris mengumandangkan kebesaran Sang Pencipta.

Harapanku sih anak kami ini tak gamang hidup di dunia penuh warna.

Tuesday, August 2, 2011

Yogya at Night

Udah lama pengen ngajak Jessie ke alun-alun selatan, baru kesampaian tadi malam. Dari rumah kami menuju Malioboro, sampai di Km 0, ternyata banyak orang berdagang helm, jika siang hari hal ini sih kayaknya gak ada, secara jarang banget lewat di sini.

Abis itu, masuk ke alun-alun utara tapi sepi, jadi kita belok kanan, mengikuti jalan itu sampai notok di Rotowijayan, melwati Gadri Resto, kami belok kanan, lalu belok kiri. Di sini dulu lokasinya Pasar Burung Ngasem. Karena pasar ini sudah direlokasi, lagipula malam hari, daerah ini menjadi sepi. Masih belok kiri, lalu belok kiri lagi di jalan Ngadisuryan. Naah... itu dia alun-alun selatan.

Walau bukan malam Minggu, tapi orang seliweran di sana. Di tengah lapangan ada lomba Masangin, berjalan dengan mata tertutup di antara dua pohon beringin. Penutup matanya bisa disewa dengan harga Rp 3000. Kami liat ada mencoba. Titik berangkatnya udah bener, dari tengah di antara kedua pohon beringin itu. Lama-lama dia makin ke kiri ke kiri. Pantesan jarang berhasil nembus.

Di tengah lapangan juga banyak orang bermain parasut warna-warni berkerlap-kerlip. Rasanya kayak di Yogya zaman duluuuu sekali. Lalu kami naik kereta kelinci. Sekali putar Rp 5000/orang, seru banget, ngelilingin alun-alun. Ternyata banyak buka lesehan, ada ronde, gudeg, pisang goreng, dll.nya. Selesai naik kereta kelinci, misua Jessie naik sepeda tandem, Rp 10000 untuk 4 kali putar alun-alun.

Kita sih ogah deh naek tandem, orang naek sepeda biasa aja oglak-oglek, apalagi tandem. kan susah nge-remnya karena rem nya harus berbarengan. menambah kegembiraan Jessie karena semua sepeda tandemnya diberi lampu warna-warni, meriah sekali. Sebenernya Jessie masih pengen naek sepeda dikayuh berdampingan, seperti jika naik bebek air, tapi udah pk 21.27, jadi kapan-kapan ke sini lagi.

Satu hal membuat kagum adalah karcis parkirnya resmi dikeluarkan Keraton Ngayogyakarta dengan harga Rp 3000, padahal tadinya udah pasrah dipalak Rp 5000, ha...ha...ha...
It is a lovely night at Alun-alun Selatan.

Monday, June 27, 2011

Sate Klathak

Pertama kali kita diperkenalkan dengan sate jenis ini oleh temannya temanku, lebaran tahun lalu. Kala itu kami pergi siang-siang perjalanan terasa amat jauh. Karena yakin mappingku, kita tak bertanya-tanya ke arah mana, kita ingat adalah ringroad parangtritis belok kiri lalu perempatan belok kanan. Perjalanan pertama ke sana akhirnya pake nyasar-nyasar.

Setelah itu kita menghafalkan landmarknya. Jika dari arah kota Yogya, ambil rute menuju Parangtritis, yaitu Jl. Parangtritis. Begitu sampai di perempatan ringroad, belok kiri ke arah Imogiri. Perempatan lagi, belok kanan. Nah, ini jalan desa, agak jauh baru ada perempatan lagi. Papan petunjuk nya: ke kanan itu ke Rumah Budaya Tembi, ke kiri itu ke Pleret. Ambil jalan menuju Pleret. Di kiri kanan itu sawah, jalan terus sampai di kanan jalan ada gedung olahraga. Maju lagi, kira-kira 100 meteran, di kiri jalan itulah sate klathak Pak Pong.

Istimewanya, warung sate ini menghadap sawah hijau nan luas membentang. Jadi serasa berada di manaaa gitu. Lalu, karena nir suara televisi or tape, terdengarlah suara sepeda dikayuh di kejauhan, saat seorang bapak melintas di teritisan sawah dengan sepedanya. Nuansa itu membuat kami sekeluarga sering menghabiskan minggu siang di sini.

Sate klathak itu tusuk satenya adalah jeruji sepeda, disajikan apa adanya.
Konon bumbunya hanya bawang merah garam, jadi rasa satenya ini gurih polosan, soalnya tak ada bumbu lainnya warnanya gak coklat bakaran. Mungkin karena tusuk satenya itu jeruji sepeda, jadi panas masuk ke dagingnya merata. Dagingnya jadi empuk sekian persen prengus kambingnya juga hilang. Jika pesan harus dikat bahwa maunya sate klathak. Soalnya, jika bilang sate kambing aja, ya dibuatkan sate biasa dengan tusuk sate bambu itu. Kami pernah kecele suatu siang kala bilang sate kambing, datang bukan sate klathak. Terpaksa disantap, tapi dagingnya tak seenak jika diklathak. Seporsi sate klathak itu Rp 10.000.

Ciri khas lainnya itu teh hangatnya. Mantap, karena disajikan bersama dengan poci teh kaleng zadul, loreng-loreng hijau itu. Mungkin nasgitel, disajikan bersama dengan gula batu.

Lalu, malam, kami berdua mencoba sate klathak malam hari. Dari Pak Pong maju lagi, ada perempatan belok kanan. Persis di gang sebelah pasar ada papan petunjuk kecil: Sate klathak Pak Bari. Dia berjualan di dalam pasar. Bayangan kami dari rumah, pasarnya seheboh pasar Biru Maru di Donggala sana. Ternyata pasarnya bersih modern, udah dikeramik semua. Jadi, m lesehan gitu terasa nyaman. Jika di sini nasi putihnya diberi kuah gule. Tehnya juga sama enaknya. Kami m 2 porsi sate klathak, 2 nasi putih 2 gelas teh habisnya Rp 16.000. Asyik kan?

Jadi, sate klathak siang, sate klathak malam, sama enaknya!

Wednesday, June 22, 2011

UM

Hari ini adalah sejarah buat Jessie. Untuk pertama kalinya dia berangkat ke Jakarta sendirian, menggun fasilitas unaccompanied minor.

Udah dari kelas 3 kita motivasi dia untuk mencoba UM, tapi kala itu belum muncul keberaniannya. Baru awal-awal tahun ini tiba-tiba muncul keinginan itu. Jadi, kala kapan itu ke Jakarta bareng-bareng, kita perlihatkan bagaimana harus check in, bagaimana mengukur barang-barang dimasukkan ke bagasi, bagaimana bayar airport tax dll.

Tadi, kita diminta mengisi beberapa keterangan di counter check ini Garuda, bandara Adi Sucipto. harus kita beritahu itu siapa penjemputnya, nomor telepon penjemputnya. Supaya memudahkan ground staff Garuda di Jakarta nanti, kita buatkan foto adikku menjemput Jessie dikalungkan di lehernya Jessie. Bagus juga dibuatkan begitu, karena boarding pass Garuda sekarang kecil sekali.

Satu langkah lagi dia di dalam kemandiriannya. Kita bapaknya langsung mellow begitu Jess berangkat. Pulang ke rumah pun rasanya sepi sekali. Rumah kami semarak jika ada Jessie ceria banyak ide. Mungkin ini kami ras kelak, jika Jess kuliah di lura kota or menikah. Time is really really flies. Rasanya baru melihat dia terlahir dengan selamat, hari ini sudah bisa terbang sendiri ke Jakarta.

Friday, June 10, 2011

Perlindungan atau Asuransi

Sebulan yang lalu saya diinvite seorang teman untuk masuk FB Group komunitas saat kuliah. Senang rasanya bertemu lagi dengan teman-teman lama (walau tidak bertatap muka). Yang muncul dalam group itu adalah kenangan-kenangan baik yang indah maupun yang buruk saat kami masih berkumpul.


Setelah beberapa minggu muncul berita duka dari beberapa member komunitas terkait keluarganya. Ada tiga berita duka dalam seminggu. Kabar yang pertama yaitu meninggalnya seorang teman karena sakit jantung, beliau meninggal di rumah sakit dengan biaya perawatan yang cukup besar. Persoalan lainnya adalah karena beliau singgle  parent dengan dua orang anak yang masih kecil, tentunya dua anak ini perlu biaya pendidikan. Berita duka yang kedua adalah meninggalnya anak seorang teman akibat sakit, dan biaya perawatannya yang terasa berat untuk ukuran perekonomian orang tuanya. Berita duka yang ketiga adalah meninggalnya suami seorang teman dan lagi-lagi meninggalkan hutang pada rumah sakit.

Tiga peristiwa tersebut membuat saya berpikir ternyata perlindungan (asuransi) kesehatan sangat diperlukan. Dengan perlindungan yang tepat tentunya akan menghindarkan kita dari peristiwa-peristiwa di atas. Memang benar tidak semua penyakit bisa ditanggung oleh perusahaan asuransi, itu yang perlu kita pelajari dengan seksama pada saat polis asuransi. Tapi setidaknya biaya rumah sakit yang sekarang ini dirasa sangat mahal dapat ditutup dari asuransi (untuk kasus radang tenggorokan saja menghabiskan 500 ribu jika berobat di rumah sakit di jakarta). Sayangnya di negeri ini kesadaran orang untuk berasuransi masih rendah. Saya bersyukur karena untuk urusan kesehatan sudah dicover oleh tempat saya dan suami bekerja.


Selain perlindungan kesehatan, perlindungan atas jiwa pencari nafkah juga menjadi penting. Perlindungan jiwa ini berguna jika pencari nafkah meninggal maka kehidupan perekonomian keluarga yang ditinggalkan tidak terganggu, termasuk pendidikan anak-anak. Naah...ini masih menjadi PR untuk saya, masih mencari yang klop.

Monday, April 25, 2011

Kurang Sabar

Pagi tadi, sepulang berburu tiket nonton gratis film Perancis, kita terjebak kemacetan di Jl. Magelang. Jalan utama rumahku ini memang menjadi distrik perdagangan tersibuk besok-besoknya. Kemacetan itu karena di Jamal ada truk Kubota mau masuk keluar dari pabrik. Namanya juga truk, ya nggak bisa lah sekali belok langsung jadi.

Tiba-tiba, ada semacam SUV baru berwarna hijau pucuk daun nyelip di belakang truk, padahal Satpamnya udah nyetopin semua kendaraan. Entah daya ba ruangnya minus or karena ketak sabarannya menunggu kemacetan itu selesai or karena sebab-sebab lain, usahanya menyelip itu diteruskan. Alhasil, mobil barunya itu menghantam pembatas jalan....penyok deh bemper depan bawah.

Kita dari arah berlawanan sampe terkagum-kagum ngeliat usaha bapak ini nyelip. Sa banget mobilnya baru tapi stylenya nyetir kayak sopir angkot. Dan, nyetir ini mending-mending masih muda terkenal berdarah panas, ini nggak, udah stw. Coba sabar dikit, kan nggak menodai mobil baru.

Dari sini kita kembali diingatkan supaya lebih bersabar dalam berlalu lintas, apalagi di Yogya, terkenal karena pengendara motornya seperti nyamuk: dari kiri bisa belok kanan tiba-tiba, or kita udah kasih tanda mau belok kiri, teteup aja tuh motor nerabas dari belakang untuk arah lurus. Selain itu kita juga belajar bahwa gaya menyetir mencerminkan kepribadiannya. Gimana sih orang grusa-grusu bisa sabar menghadapi orang lain?

Pelajaran berharga hari ini.

Tuesday, April 5, 2011

Adventure in Semarang

Liburan panjang kami ke Semarang. Sebenernya agak-agak ngeri jug, karena kota ini besar, secara ibukota propinsi gitu loh. Hanya karena kami lihat ada wahana air di sana aja, kami jadi berangkat.

Setelah melalui lembah bukit hijau, ramainya lalin menuju Ungaran menyambut kami. Samar-samar masih keinget berapa tahun lalu mencari sate kempleng di daerah itu bersama keluarga besarku. kita memang menemukan tempat kami m sate kempleng itu. Akhirnya...tak lama kemudian muncul deh kota Semarang itu.

Sebenarnya mencapai Grand Candi Hotel nggak susah, karena hotel ini paling dekat dengan gerbang Semarang. Cuma karena ahir ke sini 2 tahun lalu, kita kelupaan harus belok kiri begitu ada percabangan papan petunjuk Patra Jasa. Jadi turun terus, tau-tau udah pertokoan. Langsung kita tanya memang kelewatan. Jadi, putar balik masih sempat satu kali lagi tanya sebelum menemukan Grand Candi.

Petualangan dimulai malam harinya. Hanya berbekal ingatan masa silam, kami 'turun' ke Pandanaran. Ngiter-ngiter nyari rumah m keliatannya serba: serba lengkap, serba murah serba mudah. Maklum, turis domestik satu ini agak malas mencoba-coba baru di malam hari. Akhirnya ketemu tuh toko buku kesayangan. Setelah itu ke Mall Ciputra. Di sini ini kita ngalamin aneh di ibukota propinsi. Parkir mall itu kan emang kecil, lalu sesampainya di lahan parkir, tukang parkirnya nanya mau nggak diparkirin. Spontan kita tanya memangnya valet parkingnya berapa. Tau nggak jawabnya? "Oh, di sini nggak ada valet parking. Kami hanya menolong ibu saja supaya bisa segera masuk mal, nanti kami parkirkan." Bayangin tuh..., bae banget kan tuh Bapak?

Berkat dia lah kami bisa putar2 di mal m malam di sana. Nggak enak sih makanan2nya, tapi kenapa rame bener yak? Setelah pulang ke Yogya baru terpikir, lain kali jangan masuk mal ah, ha3, telat.

Dari mal itu kami 'naik' ke hotel. Malam pertama tidur pulas karena lelah nyamannya kamar di hotel itu.

Hari kedua, ada teman datang dia nganter-nganter keliling Semarang. Kalo ini bener deh, namanya keliling kuliner. Dari sekian tempat kuliner terucap, kita paling terkesan dengan gerobak leker lkita banget di depan Loyola. Orang ngantri beli itu siang-siang. Harganya variatif, dari 1000-14000. 14000 pake keju mozarela daging asap, kayak makanan hotel berbintang aja. Konon gerobak leker satu ini sekarang jadi sering diundang ke pesta nikah, buka lapak di sana, he3. Siang itu sebenernya kami mau diajak ke gule kambing terkenal di Semarang tapi tutup. Jadi, kami disuguhkan warung gule kepala ikan. Nikmat banget siang-siang m ini. Kepala ikannya penuh daging, kuahnya enak minumnya air kelapa dingin! Jessie aja nggak gitu doyan pedes m dengan lahap, apalagi ortunya!

Malamnya, adventure dimulai lagi karena nyari resto Kampung Laut kata temenku di Yogya, ambiencenya bagus banget. Untung kemaren di Gramed beli peta, jadi lumayan gampang. Tapi nyasarnya sih tetep aja, walau udah diterangin di hotel panjang lebar ke rah mana kami harus menuju. Sampe petunjuk ke bandara masih bener, tapi makin lama jalannya makin lebar tapi koq tambah sepi? Buru-buru deh u turn. Tau-tau pas nanya sama tukang taksi, eh...ada gerbangnya bandara di sana. Nggak pake lampu sih, jadi nggak keliatan tadi. Nggak lama kemudian, nyampe deh di Kampung Laut.

Menunya macem-macem tempatnya gede banget. Dari sekian menu banyaknya nggak ketulungan itu, pilihan jatuh ke ikan hiu sama kepiting lemburi telur asin. Wah, enak betul m di gazebo luar, memandang kerlip-kerlip lampu di laut sambil nyeruput teh hangat. Kayak bukan di Jawa aja.

Pulangnya udah hafal jalan, eh malah rubiknya Jessie ketinggalan di resto tadi, Jadi balik lagi ke sana. Kayak orang nggak puas aja pergi hanya sekali ke Kampung Laut, ha...ha...ha....

Minggu pagi beberes terus check out kita maen aer di water blaster. Karena pembangunannya belum selesai semua, jadi peraturannya juga belum selesai semua, he3. Masak berenang pake singlet? bener aja. Terus dari wahana satu ke wahana lain jauh banget jalannya. Parahnya nggak dibilangin dari bawah peraturan-peraturannya, jadi udah sampe atas baru tau harus bawa ban doble or single, minimal tinggi ba maksimal berat ba diperbolehkan di sana. Satu lagi agak mengganggu itu, air di sliding kurang deras. Jadi gesekan dengan papan seluncuran punggung terasa kerasnya. Emang sih dibandinginnya sama ciputra water park, tai kayaknya derasnya air peraturan renang di sana adalah hal mendasar seharusnya di set up dengan baik sebelum wahana itu dibuka. Untuk petualangan mencoba wahana baru, lumayanlah...

Petualangan diakhiri dengan menerjang hujan deras keluar dari Semarang. Nyari warung kepiting terkenal di Ungaran. papan nama warungnya kecil, tapi untungnya nggak kelewatan. M siang di Roso Nyoto emang luar biasa enaknya. Kepiting digoreng kering sesuai dengan nama menunya. Jadi kami pesan bertelur, datanglah memang kepiting nelur. Ternyata kami tamu terakhir, abis itu tutup deh restonya. Untung masih kebagian, kalo nggak nyesel deh.

Lain kali ke sana lagi ah, kalo ace baru udah buka.

Thursday, March 31, 2011

Susah bin sulit

Tuh nggak laen nggak bukan artinya gak ada jalan keluar. Sama seperti di sini gunung, di sana gunung, di mana-mana gunung, artinya tersesat di pegunungan, ha3.

Memang kadang-kadang musti jadi dukun sedikit, supaya terhindar dari bencana. Dukun di sini sih kayaknya lebih kepada memprediksi sesuatu terjadi di masa datang. Soalnya, kalo nggak ngedukun mana bisa tuh mengantisipasi bakalan ada apa, gimana cara mengatasinya, gimana cara mencegahnya, dlsb.nya. Udah icip-icip jadi dukun pun masih dibantah kiri kanan, sampe berant deh semuanya.

Akhirnya sampe deh di kesimpulan itu: susah bin sulit....lit....lit....!

Thursday, March 17, 2011

Selesai Sudah

Minggu siang itu kita menerima berita duka. Seorang kawanku berduka karena ayahnya telah berpulang ke pangkuan Bapa di surga. Kami baru saja pulang dari m siang. Kita langsung menyiapkan keluarga jika kita pergi ke Kebumen, tempat kawanku itu. Lalu suamiku mengingatkan supaya tanya dulu kapan meninggalnya. Jika siang hari, besok pagi saja ke Kebumennya, tapi jika selepas pk 00.00, memang harus berangkat sore itu juga. Ternyata dia berpulang pk 13.00.

Keesokan paginya kami berangkat berlima menuju Kebumen. Ini perjalanan jauhku pertama di daerah Selatan. Rasanya nggak nyampe-nyampe karena pemandangan di Selatan ini sangat monoton. Untung kita telah terlatih di jalanan rusak menuju Purwodadi Grobogan, jadi kala masuk ke Kebumen, jalanannya berlubang di mana-mana, si Mumun tak sampai kejeblos ke lubang dalam.

Rumah kawanku di desa Wotbuwono. Jadi dari jalan raya masih masuk 4 km menuju tempatnya. Saat kami bertemu, kita melihat kesedihan dalam tapi berusaha diatasi karena banyaknya pelayat datang. Ketepatan juga kakaknya kawanku ini adalah guru di sekolahnya Jessie. Hanya dengan duduk berhandai-handai kita tahu sejarah pelayanan ayahnya kawanku pendeta itu. Bagaimana dia menggantungkan hidup sepenuhnya pada kemurahan Tuhan Yesus melayani sampai akhir hayatnya.

Jika dari cerita kita dengar, cara meninggalnya pun termasuk enak. Dia sedang menunggu pendeta melayankan perjamuan kudus di rumah. Saat itu dia ingin ke belakang, lalu tidur-tiduran. Ketika itulah dadanya terasa sesak tak lama kemudian dia meninggal.

Maafkan kita kawan, tak bisa menghantar Bapak sampai ke pemakaman. Kiranya Tuhan menguatkanmu menjalani hari-hari sepi tanpa kehadiran-Nya, namun yakinlah bahwa kasih kekal-Nya selalu menyertaimu.

Wednesday, January 19, 2011

Ketemuan

Setelah pulang dari Sentosa, kita ketemuan sama adikku kedua. Janjian di Vivo City. Kita nggak tau kalo tuh mall gedhe banget, jadi kami agak lama nunggunya.

Setelah ketemu lalu kami diajak m di Boon Tong Kie. Itu resto Chinese food ramenya aujudubilah. Ngantri panjang, untung iparku pinter cari telusupan. Nggak lama kemudian kami masuk deh, he...he...he...

Adikku ini boleh dibilang pelajar mandiri. Dalam keadaan papa harus mondar-mandir Bandung-Jakarta saat menempuh S2, dia tetap rajin belajar meraih juara umum saat lulus SMP. Guru-gurunya heran banget begitu tahu mama otomatis hanya sendirian bersama anak-anak di rumah papa kuliah di UI. Sampe SMA pun di Kediri dia juara. Nggak usah negri-negrian tetap bisa masuk ITB. Hebat kan?

Satu hal selalu membekas dalam ingatanku itu adalah pertengkaran masa kecil kami. Suatu kali kami berantem, nggak tau tentang apa. Lalu karena mau disambit kita lari ngumpet ke kamar mandi lalu kita konci. Adikku ini tungguin terus kita pun tak berani keluar. Lalu, entah karena ada mau mandi or karena dia dipanggil Mama, akhirnya kita dilepaskan sambil ngomong gini, "Kali ini gw ampunin ya Ya, awas lain kali!" Secara tak sadar pengalaman ini memampukanku mengampuni orang lain, walaupun itu sesuatu sulit, ha3. Adikku ini juga satu-satunya memahami pergumulanku menjadi hamba Tuhan. Dia bikin ortuku rela melepas anak perempuan satu-satunya ini untuk melayani 2 tahun di Perkantas sebelum kerja beneran.

Setelah kami tua beranak pinak malah jarang ketemuan, karena itu kita senang sekali kemaren bisa ketemu setelah sekian lama. Kita tau pola hidup mereka dari bincang-bincang dengannya. Luv u always.

Monday, January 10, 2011

Jumpa Lagi

Hari kedua di sana, kami isi dengan menjenguk Pulau Sentosa, secara bapak anak belum pernah melihat pulau sohor ini. Banyak berubah, antara lain stasiun monorail di dalam pulau itu jadi ada 3, 12 tahun lalu kan hanya satu. Isinya tentu aja banyak ditambah, mungkin karena pemerintah melihat animo sangat besar dari berbagai negara untuk mengunjungi pulau ini. Bisa bosen dong kalo cuman itu-itu aja.

Ke sininya juga pake perjuangan, biar Jessie ngerasain enaknya mass transport menambah kesempatan untuk berakrab ria dengan Audrey. Dari apartemen kami jalan ke stasiun bus terdekat lalu turun di dhoby ghout. Lalu cari ke harbour front. Nggak lama, turun deh di vivo city. Tadinya mau ngelanjutin pake bus ke sentosa, tapi udah ditiad or kitanya nggak tau tempat pemberhentiannya. Jadi, dari lantai tiga kami naik monorail ke sentosa.

Ada pengalaman menarik di vivo city. Eskalator menuju ke lantai 3 itu rusak. Kita liat otomatis orang ngantri naik turun manual di satu eskalator. Memang jadi lama, tapi ketertibannya membuat semua jadi lancar. Coba kalo keruyukan, saling berebut mau naik dulu-duluan, mana bisa lah cepet nyampe di lantai 3.

Sesampainya di lantai 3 itu udah keliatan liak-liuk orang antri beli karcis terusan buat di Sentosa. Kami langsung masuk ke antrian untuk naik monorail. Penjagaan ketat tapi bersahabat. Kala mau masuk dengan tagging tiket MRT, Audrey nggak bisa lewat karena isi kartu MRT nya nggak cukup. Penjaganya dengan cepat menolong. Audrey tetap di luar dia lari belikan tiket monorailnya. Wah, luar biasaaa....., padahal antrian tiket monorail panjang sekali. Tapi dia bisa cepat dapatkan tiketnya, kali dia tahu kalo kami dari Indo. Saking penuhnya, udah nggak bisa duduk deh, tapi nggak lama koq, monorail sudah memasuki kawasan Sentosa. Kala sampe di beach station kami pikir masih ada satu stasiun lagi, eh tuh monorail balik ke imbiah station, cepet2 deh turun, ntar kalo maju lagi ke vivo city bisa cuman bolak-balik di dalam monorail dong?

Tujuan pertama adalah teater 4 dimensi. Kami nonton Pirates. Wah, asyik deh di dalam gedung itu. Berbekalkan kacamata, kami diayun-ayun seolah ikut bermain di film itu. Kalo seolah-olah ada di lokasi film itu kan masih 3 dimensi, kala salah satu dikerubutin kelelawar, di sekitar kaki seolah-olah terasa kibasan sayap kelelawar. Lalu, kala tertimpa air, betul-betul tuh kesemprot air. Ini kali menjadikannya 4 dimensi.

Abis ngantri, langsung makan. Laper bo....! Mana ujan lagi, tapi asyik m hot dog anget sambil ujan-ujanan. Lalu kita masuk ke Images of Singapore. Banyak adegan peristuwa bersejarah dicerit sedemikian gamblang, sehingga generasi demi generasi mengerti kenapa Singapura dibangun bersama oleh keempat etnik: Tionghoa, India, Malay londo. Suatu kali kami masuk di sebuah ruangan. Di sana ada meja kursi kayu tempat orang duduk-duduk di warung. Karena lelah, kita duduk aja di sana. Tau-tau ada orang India motret aku, dikiranya kita bagian dari properti ruangan kali. Kala kita bergerak, dia kaget setengah mati, sementara kita nggak kuat nahan ketawa. Ada-ada aja!

Selesai kunjungan di jalan keluar dari Images of Singapore, kami samapai ke toko cinderamata. Barangnya lucu-lucu sudah sangat berkembang dari bertahun-tahun lalu. Kita senyum lihat Audrey milih-milih mug buat adiknya 2 sepupunya. Biasa, anak-anak. Kalo deket berantem, kalo jauh saling merindukan. Jessie beli mug dindingnya ada airnya, jadi merlionnya ngapung berenang-renang di dinding mug.

Pk 18.00 kami tiba kembali di Vivo City. Nggak lama Audrey dijemput, sementara kita masih ketemuan adikku.

Jika nggak salah, Juni ini dibuka Universal Studio di sana abis itu kasino kayak di Genting.

Sunday, January 9, 2011

Menikmati Malam

Kami tiba di negeri Singa sekitar pk 10.00, lalu mengurus bagasi ketemuan dengan seorang teman SD ku sudah lama menetap di sana, Jane. Kami ngobrol jalan-jalan ke sana ke mari melihat-lihat Changi Airport. Ini bandara paling canggih di astenggr. Pikirku kan pulangnya nggak lewat sini, nah mau explore bandara ini buat Jessie. Setelah m siang kami mampir ke rumahnya Jane, ngobrol dengan maminya, karena maminya Jane ini kenal dengan ciecienya papa.

Lalu, dimulailah perjalanan pertama kami dengan MRT, secara Pasir Ris Gangsa Road, tempatnya A Yen itu juauuuh banget. Jadi kami beli kartu MRT. Ini pengalaman pertama Jessie naik MRT. Dia terheran-heran dengan cara membaca kartunya. Sekarang udah nggak dimasukkin lagi tapi ditag di tempatnya. Karena Pasir Ris perhentian pertama, kami masih dapet tempat duduk. Ternyata jauh banget, karena melalui lebih dari 9 perhentian MRT. Akhirnya kami turun di Clementi. Begitu turun, A Yen Ridwan udah dateng. Wah, betul-betul deh dia bertumbuh menjadi seorang ibu, karakter bawaannya. Bayangin, ampir 11 tahun nggak ketemu. Dari sana kami langsung ke rumahnya. Di rumah ada ortunya A Yen.

Setelah mandi, kami diajak ke Esplanade Theatre, ada konser Natal. Tuh konser ya, luar biasa!!! Mereka bernyanyi tanpa iringan musik, tapi ekspresinya sangat menyenangkan. Bagi aku, tandingan mereka mungkin padus dari Klaten. Keliatan sekali mereka menjiwai Natal itu, bukan hanya sekadar menyanyikan. Banyak juga lagu mereka nyanyikan, hampir 11 lagu.

Abis itu, mulailah kami menikmati malam. Begitu sampai di halaman luar, banyak orang menuliskan wishnya or memasukkannya ke dalam balon melemparkan balon berisi wish itu ke air. Anak-anak m candy floss sambil jalan-jalan. Setelah puas di sana, kami pergi ke Marina Bay, tempat si patung Singa memancarkan air. Katanya, air di sana itu berbeda dari sekelilingnya. Orang rame banget di sana, kebany keluarga dengan anak-anak kecil di stroller or pasangan asyik melihat malam.

Malam di Singapura agak berbeda dari malam di Yogya. Santai aja melenggang, walaupun tetap berhati-hati karena kerumunan orang banyak. Perjalanan hari pertama ini mengisyaratkan kalo ke sini kaki musti kuat jalan. Kala jalan dari Esplanade ke Marina Bay sih nggak berasa jauh, tapi kala pulang, wuauh....pegalnya mak! Juga, mungkin itu sebabnya orang-orang di sini jarang overweight, abis ke mana-mana jalan...

Wednesday, January 5, 2011

Wisata Desa

Suatu kali kami pernah menghabiskan setengah hari di Rumah Budaya Tembi. Rupanya anakku sangat terkesan dengan renangnya, alamnya, makanannya. Lalu dia pernah renang lagi di sana dengan temannya saat kita reunian dengan angkatan 85. seperti Jessie, temannya ini juga senang sekali renang di sana.

Jadilah, kemarin, pagi-pagi kami berangkat ke sana. Kali ini kita mengajak seorang teman juga. Jadi girl party berempat ke Tembi. Sebenarnya udah agak siang, tapi cuaca mendung, jadi anak-anak langsung nyebur. Sementara kita temanku ngobs panjang lebar, ke topik kami ingat untuk dibicarakan. Kira-kira jam 11 perut mulai keroncongan, karena anak-anak hanya sarapan cereal paginya. Kami ke restonya. Anak-anak m nasi goreng burung emprit, kita temanku nyemil tahu susur. Minumannya tetap minuman slendro pelog segar, bikin udara panas tak menyengat kami. Lalu anak-anak kembali renang, kami tetap di resto sambil nyoba koneksi internetnya. Kita sih mindah-mindahin catatan ke buku alamat baru, biar ringkas lengkap.

Kira-kira pk 12.30 kami m siang. Mesennya nasi emprit goreng sama goreng banyak (sejenis angsa). Wah, sedap, apalagi sambalnya sambal mentah lumayan pedes. Terus, air putih disedi dengan berlimpah, jadi nggak haus. Mustinya sih mungkin beli sebotol aqua ya, orang di gerobak minumnya disedi aqua botol, tapi kami memilih air minum biasa agak dingin.

Pk 14.30 ana-anak selesai renang, mandi lalu ontheling menjelajah desa. Masalah timbul kala anak-anak nggak bisa menaiki sepedanya karena terlalu tinggi. Jadilah kami memboncengkan mereka dipandu seorang guide dari rumah Tembi. Pertamanya sih ngeri banget karena udah lama nggak naik sepeda jadi oglak-oglek, menggak-menggok, kiri kanan. Tapi, sesudah 10 kayuhan, oke lah.

Pertama kami diajak melihat kerbau anaknya. Sekalian refresh pengetahuan bahasa Jawanya. Kan di sekolah diajarin nama anak-anak hewan. Mumpung ada contohnya langsung kerbau sapi beserta anaknya masing-masing, kita ingatkan lagi aja. Ternyata paling Jessie ingat itu anaknya gajah, namanya bledug, ha3.

Setelah melihat kerbau, kami diajak melihat kerajinan membuat bingkai cermin dari pelepah daun pisang. Menarik, karena jadi tahu campuran lem dipakai lalu cara membuat tutup vinil belakangnya itu. Dari sana kami beranjak ke kerajinan pre order batik Tembi. Pemiliknya sangat ramah dalam menjelaskan karya-karyanya. Dalam hati, kita naksir nih menjalin kerja sama dengan beliau, siapa tau bisa ngeramein toko onlineku. Bapak ini juga punya guest house seperti Rumah Tembi, tapi hanya dua rumah. Ada pake AC per malamnya 400 rb, trad 350 rb. Cuman nggak tau apakah dapat m 3x sehari seperti di Tembi.

Di jalan pulang kami menjumpai workshop kerajinan tertutup untuk umum, kepunyaan seorang pengusaha australia tinggal di desa Tembi. Mungkin untuk ekspor, jadi khawatir disainnya muncul duluan di toko online sebelum pesanan sampe di tujuan, bisa kena denda cidera janji tuh, hiks.

Perjalanan menjelajah desa ini mengingatkanku desa KKN, rumah-rumahnya masih berlantaikan tanah. Ada teras tempat duduk-duduk sambil dengerin kicau burung perkutut. Juga bau rokok lintingan, umumnya dikonsumsi para pria tua sambil nunggu magriban. Juga tatapan penduduk hadirnya orang asing di tengah-tengah miliu mereka. Beberapa tertawa geli melihat kita naek sepedanya masih nggak lurus. Kita sih sama sekali nggak tersinggung karena di sana kita menatap keceriaan alami sama sekali nggak dipoles jaim-jaiman.

Menghabiskan hari di Tembi terasa cepat berlalu, liburan menyenangkan di selatan Yogya.

Tuesday, January 4, 2011

Merencan Liburan

Tahun lalu, kira-kira seperti kala ini, kami mulai mendo untuk liburan keluarga, ke tempat suamiku diutus tahun sebelumnya.

Kami sadar bahwa biayanya sangat besar persiapannya memerlukan kala banyak. Jika sekadar jalan-jalan ke lain kota sih nggak kepikiran, tapi ini jalan-jalan ke luar negeri, walaupun tapaknya baru bisa sampe Singapura Malaysia. jelas kami bertiga harus giat menabung supaya at least punya uang jajan di negeri orang.

Maka tahun lalu kita bekerja sangat keras menyelesaikan order buku-buku kita terima. Kita juga giat mencari order pesanan kaos seragam supaya ada pembagian dividen sehingga bisa ditabung. Jajan m di luar dikurangi hampir 50%, ternyata itu sangat membantu. Bayangin aja untuk minum saja di resto biasa bisa mencapai 11.000 setiap kali makan, jika 3 x sehari makannya di rumah, berarti ada penghematan 33.000 per hari 900.000 per bulan, belum lagi makannya! Semua bisa dihemat, dihemat lah tahun kemarin.

Puji Tuhan, pertengahan tahun tabungan mulai keliatan hasilnya. Jadi, kami mulai hunting budget ticket melancarkan komunikasi dalam bahasa Inggris bagi anak kami. Karena, dengan kemurahan Tuhan seorang kawan mengundang kami menginap di apartemennya selama di Singapura. Kan mau tidak mau anak kami harus berkomunikasi dengan anak kawan kami itu. Kira-kira September kami mendapat budget ticket luar biasa murah, karena berangkat pulang di hari raya, maka harga tiket dipotong 50%, alahasil pulang pergi kami hanya menghabiskan sekitar 900.000 per orang. Buat bandingan aja, kadang-kadang ke Jakarta dengan Garuda bisa segitu harganya...

September-Oktober kami merancang mau ke mana aja di luar negeri itu. Kalo di Singapura sih kami nggak terlalu khawatir karena sistem transortasinya begitu jelas peta melimpah ruah di mana-mana, lagipula ada kawan kami siap memberi petunjuk. kami khawatirkan adalah di KL karena kawan-kawan tinggal di sana semua menyat dari kota itu. Jadilah, September-Oktober browsing ke mana-mana untuk melihat tempat transportasi selama di KL. Setelah mendapat sedikit gambaran, kita mulai ancang-ancang membuat paspor, karena paspor ini diperlukan untuk memesan tiket bus dari Singapura ke Genting Highlands. November paspor jadi, lalu kita tanya-tanya untuk pembebasan fiskal di bandara.

Sekitar pertengahan November kita mulai aktif di Kaskus mulai posting di bagian travellers sekitar pertengahan Desember. Lalu mulai mencari hotel di KL. Untung ada kawan membantu mencarikan apartemen milik orang Indonesia biasa disew kepada orang Indonesia melancong ke KL. Jadi penginapan di KL beres. Penginapan di Genting pun sudah beres pada bulan ini, karena kawan kami di Singapura segera menguruskan begitu kepastian ke negerinya Genting Highlands didapat.

Akhirnya kami berangkat ke bandara Adisucipto, dengan syarat-syarat udah dilengkapi semuanya. Kali ini perjalanan setengahnya kayak backpacker. Untung udah banyak buku tentang backpacker, jadi ...just go!!!

Search This Blog