Wednesday, March 18, 2009

Adrenalin

Buat orang seumuran aku, ternyata menari itu needs a lot of energy. Sejak kita memasukkan Jessie ke sanggar tari Natya Lakshita dia mulai diajak pentas sana sini, kita melakoninya dengan kesadaran penuh. Namanya kesenian, pastilah tak bisa sepasti kuinginkan, misalnya riasnya lama or kostumnya banyak pernak-perniknya.

Keadaannya jadi lain kala kita sendiri menjalani proses periasan memakai kostum. Belum juga berangkat ke sanggar, leherku udah gatel-gatel. Ini sih kita langsung tahu kalo gejala-gejala kestabilan psikis terusik. susah itu memompa adrenalin supaya mengalir deras. Salah satu berhasil kita bayang-bayangkan bisa meningkatkan semangatku adalah irama gendang saat kami menarikan ragam 1-6. Koreografernya emang ciamik banget, kebetulan kita suka dengan irama menghentak-hentak. Dengan semangat itu kita berangkat ke sanggar untuk dirias.

Celaka 12, rambutku terlalu pendek untuk dicepol (disanggul sederhana). Sang penata rambut akhirnya memasang harnet di sekeliling kepalaku, terus duhair spray beberapa kali. Untungnya kita pake topi aladin, jadi cepol nggak cepol, tertutuplah itu. Soal kostum juga masalah. Teman-teman lain ukuran tubuhnya mungil-mungil. Penata kosum sempat kecele, sampe beberapa kali ditukar tetap nggak muat. Akhirnya diamilkan kostum suangaat besar. Kalo dari labelnya itu kostum untuk permaisuri, tapi kala kita pake koq gak persis permaisuri ya? Ha...ha...ha..., kayak mbok emban malahan.

Saat pawai itu, sampe depan Malioboro Mall, kita masih kuat lah go en megal-megol kiri kanan. Tapi, kala mendekati perempatan Dagen, staminkita mulai abis. Kalo udah gini, senjatkita cuman satu, senyum aja kiri kanan, tapi geraknya hanya seadanya. Akhirnya, sampailah kami di benteng Vredeburg, tempat pentas hut sanggar dilaksanakan. Kita lega banget, soalnya kalo ambruk di tengah pawai kan malu-maluin...

Berhubung tuh tarian banyak banget tarian kelompokku urutan ke tujuh, pegel-pegelnya mulai terasa. Kayaknya nih kaki nggak mau dibengkokin deh, maunya lempeng-lempeng aja. Terus pinggul juga ngilu-ngilu. Untung salah satu temenku bawa pharmaton formula, bisa mempertahankan kondisiku supaya tetep fit.

Walaupun lelah, kita senang sekali ikut pawai kayak gini. Siapa tau ini kesempatanku satu-satunya ikut dalam geliat budaya Yogya, bareng sang maestro tari transgender, lagi. Memang, kairos berbanding terbalik dengan kronos. Untuk menangkap kairos itu butuh kepekaan hati.

No comments:

Post a Comment

Search This Blog