Monday, July 2, 2012

Bau Donggala

Suatu kali kami bertiga kelelahan karena berbagai aktivitas. Kalo udah begini, paling enak direfleksi. Cuma, karena belum m malam, jadi kepikiran m di bakso Pringgading lalu refleksi di Kakiku di ujung jalan. Sementara Jessie papinya makan, kita jalan kaki mendaftar ke tempat refleksi itu.

Lokasi jalannya memang berada di salah satu Pecinan Yogyakarta. Begitu kita jalan, sudah tercium bau hio, semacam dupa untuk sembahyangan orang Tionghoa. Baunya khas membuat ingatanku mela ke rumah mertukita juga pake hio-hio kayak begitu. Lalu di kiri kanan jalan ada orang duduk-duduk ngobrol di depan pintu toko dicet hijau terang seperti rumah-rumah Tionghoa zadul. Suara orang ngobrol bagaikan musik merdu mengiringi perjalananku malam itu.

Tiba-tiba terdengar gelas pecah suara ibu-ibu ngomelin anaknya. Tapi masih kalah sama instrumen Mandarin dari rumah di seberangnya. Jadi kita berjalan sambil mencandra pernak-pernik percik kehidupan di Pecinan. Suara-suara itu silih berganti, jadi jalan sunyi senyap itu seolah ditingkah aneka suara dari dalam rumah...

Di jalan itu ada semacam tanh berpasir tak berpenghuni. Maksudku, di situ nggak ada tenda jualan makanan or rumah. Hanya seng menutupi sebidang tanah. Penerangannya pun remang-remang. Di situlah kita mencium harum rokok lintingan khas pedesaan di Jawa Tengah, semasa kita KKN dulu.

Kalo nggak jalan kaki gini, semua cita rasa udara tak tercium. Ingatanku langsung menuju Donggala, tempat mertuaku. Di sana juga situasinya persis seperti ini. Mungkin karena jarang ada kegiatan malam hari. Jadi sesudah tutup toko, mandi, lalu mulailah acara kongkow-kongkow sampe malam di depan toko. Kadang anak-anak berlari-lari di jalan belum teraspal sempurna. Jika bulan terang benderang, anak-anak bernyanyi-nyanyi di jalan sementara orang tuabercengkerama sambil menumpangkan satu kaki di atas kaki lainnya, or sambil bisik-bisik.

Paling nggak malam itu kita menyicipi suasana Donggal telah lama tak kulihat...

No comments:

Post a Comment

Search This Blog